Kamis, 17 April 2008

Solusi Permasalahan Ekologi Indonesia

Masalah ekologi sepertinya sudah menjadi teman akrab negeri ini. Tanah longsor dan banjir selalu menghantui setiap kali musim hujan tiba. Anehnya walaupun sejak lama semua sepakat bahwa keduanya disebabkan oleh rusaknya kawasan tangkapan air (recharge), namun tahun demi tahun hal tersebut berhenti hanya menjadi sebuah pengetahuan tanpa adanya perbaikan yang berarti pada kawasan tersebut.

Hampir semua sepakat bahwa banjir yang melanda Jakarta mendapatkan sumbangan terbesar dari rusaknya recharge Bogor dan sekitarnya. Hampir semua tahu bahwa meluapnya Bengawan Solo juga mendapatkan sumbangan besar dari rusaknya recharge hulu sungainya yang berada di Jawa Tengah. Hal tersebut sudah menjadi pengetahuan umum masyarakat. Namun mengapa setelah diketahui penyebabnya, bencana tersebut masih terjadi dengan penyebab yang sama secara berulang-ulang? Apa yang salah dengan negeri ini?

Andai saja pembagian wilayah administrasi didasarkan pada pembagian wilayah DAS (daerah aliran sungai) dan sub-DAS, masalah banjir tersebut tidak akan terjadi secara berulang-ulang. Sebenarnya setiap daerah telah mempunyai panduan pokok penggunaan lahan berdasarkan fungsinya pada peta Arahan Fungsi Penggunaan Lahan yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang tiap wilayah yang mengatur pelestarian wilayah Lindung dan Penyangga. Namun yang terjadi pada kenyataanya adalah seringnya ditemukan pelanggaran terhadap aturan tersebut. Tapi mereka juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan sebab jika suatu wilayah mempunyai kawasan lindung mayoritas dari seluruh wilayahnya dan tidak diperbolehkan melakukan pengelolaan, maka mungkin mereka berpikir bahwa pendapatan mereka akan sangat sedikit.Kemungkinan selain masalah pendapatan adalah bahwa wilayah mereka juga tidak terkena dampak banjir secara langsung karena memang dampak rusaknya kawasan recharge hanya akan dirasakan oleh kawasan discharge (Limpasan Air).

Pembatasan wilayah administrasi bedasarkan DAS atau sub-DAS akan memastikan sebuah administrasi akan menerima dampak sendiri langsung dari pelanggaran yang dilakukannya terhadap peta Arahan Fungsi Penggunaan Lahan, karena sebuah DAS selalu memiliki dua tipe kawasan yaitu recharge dan discharge. Ketika sebuah recharge dirusak, maka yang akan menerima kiriman air limpasan adalah daerah discharge yang berada pada satu wilayah administrasi (wilayah administrasi yang sama). Dengan demikian sebuah wilayah administrasi akan terpaksa memelihara kawasan rechargenya kalau tidak ingin menanggung kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh banjir yang terjadi pada wilayah dischargenya.

Namun hal itu juga hanya sebatas andai saja sebab untuk sekarang ini rasanya tidak mungkin untuk mengubah batas administrasi seluruh wilayah di Indonesia berdasarkan pembagian wilayah DAS dan sub-DAS. Selama ini pernahkah terlihat ikutnya pemerintah Jawa Tengah bertanggungjawab atas banjir yang terjadi di Jawa Timur akibat meluapnya Bengawan Solo? Atau pernahkah terlihat ikutnya pemerintah Bogor dan sekitarnya bertanggungjawab atas bencana banjir yang terjadi di Jakarta karena karena limpasan yang terlalu besar dari wilayahnya? Namun benarkah permasalahan tersebut tidak ada penyelesaiannya yang bisa diterapkan untuk saat ini?

Solusi yang saat ini terpikir oleh saya dan terasa mungkin untuk dilakukan adalah perumusan peraturan ekologi yang terintegrasi oleh setiap administrasi yang berada pada satu wilayah DAS yang sama dan bukan terbatas oleh administasi. Peraturan yang akan membuat wilayah yang mempunyai kawasan recharge terpaksa melindungi kelestariannya.

Inti dari peraturan tersebut adalah bagaimana membuat administrasi yang mempunyai kawasan recharge untuk ikut bertanggungjawab atas banjir yang terjadi pada kawasan discharge yang di sebabkan oleh wilayahnya. Demikian juga sebaliknya, bagaimana agar administrasi dengan kawasan discharge ikut bertanggungjawab untuk melestrarikan kawasan recharge. Cara yang mungkin ditempuh adalah dengan denda dan profit. Denda bagi administrasi recharge atas banjir pada administrasi discharge akibat dari wilayahnya dengan setidaknya ikut mengetasai masalah korban banjir. Sedangkan daerah administrasi discharge juga harus ikut dalam upaya pelestarian kawasan lindung dan penyangga dengan setidaknya memberikan sumbangan dana untuk pemeliharaan kawasan recharge. Dengan demikian akan terjadi saling ketergantungan antar wilayah dan rasa tanggungjawab terhadap keseluruhan wilayah DAS. Di satu pihak tentunya tidak ingin ikut menanggung dana bagi korban banjir dan di pihak lain juga tidak ingin banjir sampai wilayahnya.

Jika peraturan tersebut terwujud, kemungkinan ada satu masalah lagi yang harus dipecahkan yaitu masalah sosial. Bagaimana mengalihprofesikan orang-orang yang selama ini menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian yang berhubungan erat dengan kawasan lindung tersebut. Jika masalah pengalihprofesian ini tidak ditangani, maka akan terjadi penentangan besar. Dan memang selama ini solusi masalah ekologi selalu terbentur dengan masalah sosial sebagai penghambat terbesarnya. Untuk mengalihprofesikan orang-orang tersebut perlu inventarisasi potensi daerah, pelatihan dan pembinaan yang kuat. Hal tersebut hanya bisa dilakukan apabila daerah administrasi recharge dan daerah administrasi discharge bekerjasama dalam satu tujuan. Memang sangat sulit. Namun pilihan harus dijatuhkan.

Menunggu semua kawasan hancur dan tidak bisa digunakan lagi dengan mengorbankan semua orang, atau

Menjalankan solusi dan bersabar dalam menyadarkan serta membina orang-orang yang merasa mendapatkan dampak negatif dari solusi tersebut.

Tidak ada komentar: